Blog

SPIRITUALITAS POLITIK

Minggu, 28 Januari 2024 | Kategori : Kebaktian Minggu

Dibaca : 226

image blog

(Hakim-Hakim 9:7-21; Mazmur 1:1-6; 1 Petrus 2:11-17; Matius 22:15-22 (TB 2))

Pemilu sebentar lagi kita ikuti. Bagaimana makin antusias atau makin malas mengikuti? Mari jujur.. Makin damai sejahtera di hati atau sebaliknya? Apa sudah mantab dengan pilihan kita? Ada yang antusias, tapi tidak sedikit yang makin malas. Ada yang tenang karena tidak mau pusing lihat berita, tapi pasti banyak dari kita yang resah. Ada yang sudah mantab tapi banyak juga pasti yang makin pusing dan bingung mau pilih yang mana. Mungkin pemilu kali ini rasanya adalah pemilu yang paling sulit dan paling rentan dalam sejarah Indonesia. Rentan akan perpecahan dan perseteruan.

Dari situasi ini apa sih yang harus kita lakukan? Dan hal positif apa yang bisa kita tarik dari situasi ini? Apa tugas Tuhan bagi kita di tahun politik ini?

Dalam bacaan kita di Matius 22:15-22 diceritakan Tuhan Yesus dijebak karena sikap kebencian dalam hati orang Farisi. Dalam alkitab kita dituliskan : 16 Mereka menyuruh murid-murid mereka (orang Farisi : perspektif agama) bersama-sama orang-orang Herodian (perspektif bangsa Yahudi) bertanya kepada-Nya : 17 Katakanlah kepada kami pendapat-Mu: Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?"

Ini adalah pertanyaan dilematis. Jika Yesus menjawab bahwa masyarakat harus membayar pajak, maka artinya Yesus setuju, berpihak pada pemerintah Romawi yang menjajah dan memungut pajak. Maka Yesus akan dianggap sebagai antek-antek romawi dan sah untuk dikucilkan dan disidang oleh masyarakat. (Seperti Zakheus, karena pekerjaannya sebagai pemungut cukai : penarik pajak Roma bagi masyarakat Yahudi, tak ada seorangpun yang mau singgah di rumahnya dan bergaul dengan dirinya.) à hukuman masyarakat menanti Yesus jika Ia menjawab masyarakat harus bayar pajak. Tetapi bila Yesus mengatakan : tidak perlu membayar pajak, maka ia dianggap melawan pemerintah penjajah dan tinggal dilaporkan saja untuk ditangkap karena tidak taat negara. Kedua jawaban itu bisa membawa Yesus kepada permasalahan.

Namun menarik, Yesus menjawab : "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah." Yesus mengajarkan pada kita janganlah dikotomis memisahkan hidup bernegara dengan hidup beriman. Keduanya adalah jati diri kita. Hidup bernegara dan beriman pada Allah adalah satu kesatuan. Itulah spiritualitas politik : bahwa ambil bagian dalam hidup bernegara : membayar pajak, mengikuti pemilu, dll adalah wujud pengamalan agama kita, hormat kita pada Tuhan. Dari sini kita melihat beberapa poin penting yang bisa menjadi bekal bagi pemilu 2024 :

  1. Jangan sampai Golput. Golput itu terjadi ketika kita tidak mau memilih, atau memilih tapi surat suara dicoblos semua; sebagai bentuk kekesalan/kebingungan. Kita tahu, suara yang demikian jelas tidak sah. Golput itu berarti mencuci tangan dengan apapun yang terjadi. Entah pemimpinnya baik entah jahat, tidak perduli. Akhirnya ketika yang jahat yang memimpin, pelaku Golput itu sebenarnya berkontribusi mendukung kejahatan merajalela. Ibaratnya kalau negri kita kelak menderita, itu adalah peran pelaku Golput itu yang diam, tak bersuara.

Terkait hal ini ada istilah “Vox Populi Vox Dei”, ini  adalah ungkapan dalam bahasa Latin yang dapat diterjemahkan sebagai "suara rakyat adalah suara Tuhan." Jadi kita ini membawa suara Tuhan melalui hak pilih kita.

  1. Berbeda pilihan itu biasa. Tak perlu memaksa satu sama lain di keluarga. Berdiskusilah. Berdiskusi itu boleh-boleh saja dan baik. Berdiskusi di gereja, di masyarakat, di rumah. Itu baik dan perlu! Tapi tak perlu memaksa orang lain dan tak perlu terbawa emosi apalagi sampai terpecah belah dan bermusuhan satu sama lain. Bukankah beda pilihan Pemilu ini nilainya tak sebanding dengan persaudaraan dalam keluarga, kesatuan gereja kita, persaudaraan sebangsa dan setanah air. Hormati Asas Pemilu LUBER : Langsung, Umum, BEBAS & RAHASIA. Bebas memilih satu sama lain dan rahasia. Jadi tidak perlu menghakimi bahkan terpecah belah. Pilih saja sesuai hati nurani.
  2. Pilih yg mewakili Allah membawa damai sejahtera di bumi. Pilih dari catatan TRACK RECORD-nya, yg pernah menjabat sebagai pemimpin yang benar2 melayani rakyat dan membawa kebaikan untuk rakyat. Yang tidak senang memprovokasi, menyebarkan berita kebencian dan hoax. Pilihlah yang senang bekerja, bukan yang senang berkata-kata. Bedakaan : mana yang selalu mendahulukan rakyat, mana yang menghalalkan segala cara untuk menjadi pemimpin Indonesia. Artinya kita diminta untuk kritis. Selama para pemimpin melayani sebagai pejabat, apakah mereka melayani dengan baik, bersih dari kejahatan dan korupsi?
  3. Pakai panduan bahwa kadang kita tidak selalu memilih yang paling sempurna, tetapi yang paling “mending” dan “lumayan”. Rm. Frans Magniz Suseno bahkan mengatakan : pilih yg paling sedikit setannya (jahatnya). Pilih yg tidak didukung kelompok radikalisme dan yang tidak akan berkoalisi dengan kelompok tersebut. Perjuangan Indonesia mengenyahkan radikalisme dan terorisme itu sudah begitu nyata. Kita sempat ada di situasi prihatin dimana politik identitas (SARA) & radikalisme dimainkan. Kini kelompok tersebut sudah ditangani dan dibubarkan. Kita harus melanjutkan semangat ini, melalui memilih mereka yang tidak didukung kelompok radikal. Pilih mereka yang menjamin peribadahan agama apapun bisa dijalankan dengan bebas, izin-izin gereja diberikan, dst.
  4. Belajar dari pemilu : jangan mudah di-adu domba. Kita harus bisa membedakan antara berita hoax, kampanye lips service (janji-janji manis sesaat) yang kelak akan diingkari, atau komitmen murni yang realistis untuk kebaikan bangsa. Meski ini sulit, kita harus peka dan memahami kata-kata dari calon pemimpin kita.

Dan belajar dari hal ini, sebagai gereja kita belajar : jangan mudah terbawa emosi dan terpecah belah bila ada masalah. Jangan mudah terprovokasi oleh berita kebencian di tengah keluarga/persekutuan gerejawi. Kita perlu menerapkan identitas kita sebagai Satu Tubuh Kristus, yang satu


Blog Terkait